Labura, GlobalNews21.com |
Ketua Tim Teknis Pembangunan Dinas Perumahan dan Pemukiman Kabupaten Labuhan Batu Utara enggan berkomentar. Terkait sejumlah Kepala Keluarga penerima manfaat dari program Pemerintah terkesan asal jadi dan menuai pertanyaan. Adanya pergantian pengurus program menjadi penilaian diduga proyek pemerintah tidak profesional.
Baca juga:
Pembangunan/Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) Tidak Sesuai Dengan Juknis
Dari hasil konfirmasi awak media GlobalNEWS21.net dan koran Tipikor Global beserta team media di kantor Dinas Perkim Labura mendapati hasil konfirmasi yang kurang menyenangkan. Hal ini dibukti dari konfirmasi petugas (KK) selaku Ketua Tim Teknis Pembangunan program RTLH enggan berbicara di dalam kantor shingga konfirmasi dilakukan berdiri di lobi dengan alasan sedang banyak kegiatan.
Ditemui awak media di Kantor Dinas Perumahan dan Permukiman Labura yang terletak di Jl. Lintas Sumatera Desa Damuli Kebun Kecamatan Kualuh Selatan Kabupaten Labuhanbatu Utara Senin (07/02) mengenai Proyek Pembangunan/Rehabilitasi RTLH Labura yang bersumberdana dari APBD Provinsi Sumatera Utara TA 2021 di nilai bungkam.
Pasalnya setiap awak media mengajukan pertanyaan jawaban (KK) selalu menghindar dengan mengucapkan,“ untuk lebih jelasnya ke Provinsi aja bang.”
Bahkan (KK) mengatakan “Kami hanya Pendamping saja, Kalau mereka datang dari provinsi ketempat kita ya kita damping dan kita tengok, masalah terperinci abang tanya ke Provinsilah, bang.”
Dan berdasarkan Kabid Permukiman yang sebelumnya sebagai Ketua Team Teknis Pembangunan/Rehabilitasi RTLH Labura mengatakan,“Proyek RTLH ini adalah kegiatan Provinsi tetapi Untuk calon penerima manfaat (CPM) itu saya yang mengajukan dan disetujui semua, dan sebenarnya di awal Proses RTLH ini saya sebagai ketua teknis, dan karena saya lihat sudah tidak sesuai dengan prosedur yang kami buat maka saya mengundurkan diri,” ungkap pengurus sebelumnya.
“Bukan hanya mengundurkan diri saja, saya sudah coba melakukan komunikasi dengan Tenaga Fasilitator Lapangan (TFL) namun tidak dapat dihubungi, dan saya juga melakukan komunikasi ke Perkim Sumut namun Perkim Sumut mengarahkan ke TFL, karena saya lihat sudah lari dari prosedur makanya saya mengundurkan diri.”
Masih keterangan dari pengurus lama mengatakan,”seharusnya TFL sudah memperhitungkan penggunaan biaya Pembangunan/Rehabilitasi RTLH agar tidak terbengkalai seperti ini. Dengan anggaran yang cuma segitu manalah cukup untuk membangun rumah di daerah kita, seharusnya kalau mau dibongkar semua (dibangun ulang kembali) TFL menjelaskan kepada penerima manfaat bahwa setelah di hitung dan dikalkulasikan dana anggaran kurang untuk membangun RTLH, dan TFL juga harus membuat kesepakatan tertulis tentang kebutuhan material bangunan contoh jumlah batu bata sekian, jadi penerima manfaat tahu penambah sekian dan yang lain-lain, dan itupun harus melalui kesepakatan tertulis, bukan ujuk-ujuk minta tambah material lah, ongkos tukang lah dan macamlah.”
“Swadaya memang dibenarkan tapi bukan berarti swadaya uang, swadaya itu banyak, bisa berupa keterlibatan masyarakat setempat, gotong royong, bantuan-bantuan dari pemerintah desa, bantuan dari Pemkab. Kalau masih tenaga Penerima Manfaat yang di swadayakan masih masuk akal, tapi kalau swadaya uang yang diminta dari penerima Manfaat itu namanya bukan meringankan beban malah membebani penerima manfaat,” ujar mantan Ketua Tim.
Hal ini bermula setelah ada laporan warga kepada team media, dan awak media langsung melakukan investigasi langsung terhadap Penerima Manfaat. Contohnya yang terjadi pada Usup (42)
“Pada lantai kamarnya masih berlantaikan tanah tidak di semen, atap rumah yang di pasang seng bekas yang berkarat, membeli kayu 2×3 inci dengan uang sendiri padahal ukuran rumah sudah sesuai dengan yang diminta 6×5 Meter,” ujar Usup.
Begitu juga Lasinem (61) terlihat pada rumahnya tutup keong atau tombak layar sebelah kanan ditutupi dengan seng bekas dan papan namun sebelah kiri ditutup dengan pasangan batu bata, 13 seng berkarat terpasang di atap rumahnya, jendela tidak diberi engsel hanya di ganjal dengan paku agar jendela tidak jatuh,.
Lasinem mengatakan,”saya sudah 3 bulan menyewa rumah karena rumah saya di bongkar untuk dibangun, padahal saya hanya pencari sapu lidi untuk makan saja kurang ditambah lagi membayar sewa rumah, terpaksa saya utang-utang pada tetangga, anak saya jauh-jauh terpaksalah saya sewa rumah,” urainya kepada awak media.
Lasinem juga mengatakan,”saya juga menambah beli paku karena paku dari mereka kurang, bukan hanya paku, saya diminta menambah semen, pasir, menambah ongkos tukang sebesar 2 Juta Rupiah dengan uang sendiri.”
Begitu juga yang terjadi oleh Tukiran (64) mengatakan,“ya beginilah keadaannya pak, ini saja saya selesaikan sendiri, Lantai yang kita duduki sekarang saya yang melantainya senderi itu juga plaster depan rumah ya saya yang kerjain sendiri, habis 4 sak semen pak. Untuk lantai dan plaster itupun semennya saya beli sendiri, banyak yang saya beli contohnya pasir yang mereka kasih sama saya 1 Cold Diesel, manalah cukup pak makanya saya tambah 2 Cold Diesel,” ujarnya.
“Paku juga saya banyak menambah beberapa kilo karena ga saya catat pak, kira-kira 5 Kg lebih la pak. Batu bata saya juga nambah 300 buah kaarena yang dikasih mereka kalau tidak salah 4.600 buah manalah cukup, karena saya nambah ukuran jendelanya pak makanya cukup kalau tidak tak taulah berapa buah lagi saya nambah batunya. Kusen jendela dan daun jendelanya itu saya beli sendiri pak, karena jatah dari mereka tidak datang-datang makanya saya inisiatif beli sendiri, karena saya beli sendiri saya tambahlah ukurannya supaya bisa mengirit batu bata, sampai sekarang kusen dan daun jendela yang jatah mereka pun tidak datang, ya anggap/hangus lah pak,” cerita Tukiran.
“inisial (M) juga meminta tambahan ongkos tukang sebesar 1,5 Juta, ya saya jawab, berapa lamanya tukang kerja di rumah saya, jawab (M) 19 Minggu, padahal saya hitung 15 hari, ya Saya hitungkan lah pak anggap saja upah tukang 200 Ribu/hari karena dia kerja sendiri, Saya hitung baru 3 juta upahnya, sementara upah tukang yang di berikan pemerintah 4 Juta sudah saya berikan sama (M) semua, seharusnya Saya bukan menambah mereka yang mengembalikan seharusnya, kan lumayan bisa nambah-nambah beli bahan,” pungkasnya.
“Saya mengerjakan rumah ini sendiri itu karena tukangnya gak pernah datang lagi, makanya saya tanyakan kepada (M) mengapa tukang ga datang lagi, dan (M) menjawab dengan enteng uangnya sudah habis, trus cemana ini ku kerjain sendiri ya, jawan (M) Silahkan, makanya saya kerjakan sendiri pak. Kalaulah dari awal saya yang ngerjain sendiri dengan uang dengan jumlah bantuan itu mungkin jadinya rumah ini jauh lebih bagus dari yang sekarang ini, tapi gimana lagi jangan kan semua uangnya, tukang nya saja dari kami tidak diperbolehkan, apa lagi untuk membeli material sendiri,” pungkasnya.
“Kalau tidak silap saya 1 minggu yang lalu saya menanda tangani dokumen-dokumen dan sekaligus di pasang stiker yang dari bapak Gubernur itu (Stiker Pembangunan/Rehabilitasi RTLH Prov. Sumud APBD TA 2021),” ujarnya.
“Dan saya tanyakan mengenai kelanjutan pembangunan rumah ini, dia pun menjawab, bingung, seharusnya sudah selesai semua ini sampai ke tutup keongnya,” ujar Tukiran. (Ricki/Tim)